Tuhan, Izinkan Aku Tertawa Diatas Mimbar Kemunafikan

Tuhan, Izinkan Aku Tertawa Diatas Mimbar Kemunafikan


Oleh : Badrul Muhayat

VOICE- Dua dekade telah berlalu sejak Muhidin M. Dahlan melempar "bom molotov" sastra berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! ke muka publik Indonesia pasca-reformasi. Sekarang, Hanung Bramantyo memungut serpihan bom itu dan merakitnya kembali menjadi Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Judulnya diperhalus karena kita adalah bangsa yang santun, yang lebih takut pada kata "Pelacur" di poster bioskop daripada pada kelakuan predator seksual di bilik pesantren.


Kisah Nidah Kirani bukanlah sekadar cerita tentang seorang muslimah yang "tersesat". Oh, bukan. Ini adalah cermin raksasa yang diletakkan tepat di depan hidung masyarakat kita yang agamis namun rapuh. Kirani adalah martir yang menunjukkan bahwa jalan menuju neraka tidak selalu dilapisi niat buruk, melainkan sering kali dipandu oleh laki-laki bergamis putih, aktivis berjaket almamater, dan pejabat berpeci necis.


Pertama, ada Abu Darda. Sosok pemimpin agama yang mengira bahwa "persetujuan ilahi" bisa menggantikan consent seksual. Jika Anda menolak lamarannya, Anda tidak hanya menolak pria tua, Anda menolak Tuhan! Sebuah logika jenius untuk menutupi libido yang tak terkontrol. Dia menerapkan taktik DARVO (Deny, Attack, and Reverse Victim and Offender) dengan sangat mulus, Kiran yang menolak, Kiran yang difitnah sebagai penggoda.


Kedua, ada Daarul. Ah, spesies ini mungkin yang paling sering kita temui di kantin kampus. Aktivis kanan-kiri sedikit, bicara soal revolusi, tapi mentalnya feodal. Daarul disebut sebagai representasi laki-laki "mokondo" yang manipulatif. Dia mengambil "kesucian" Kiran atas nama cinta revolusioner, lalu membuangnya seperti ampas kopi setelah nafsunya terpenuhi.


Ketiga, Tomo dan Alim Suganda. Kombinasi maut antara intelektual kampus dan politikus necis. Mereka membuktikan satu tesis fenomenal, semakin tinggi jabatan dan semakin "alim" citra publik seseorang, semakin mahal tarif pelacur yang ia butuhkan untuk memuaskan fantasi liarnya yang tertekan.


Di sinilah letak pergeseran fenomenal dari tahun 2003 ke 2024.Dalam novelnya, Kiran melakukan protes metafisik. Dia tidur dengan banyak lelaki untuk "meludahi" Tuhan. Logikanya nihilistik "Tuhan, lihatlah ciptaan-Mu yang paling mulia ini kurusak, karena Engkau membiarkan bajingan-bajingan itu memimpin atas nama-Mu!" Ini adalah jeritan putus asa dalam ruang hampa.


Namun, dalam film, Kiran berevolusi. Dia tidak lagi sekadar merusak diri, dia mengubah tubuhnya menjadi Kuda Troya. Tubuhnya adalah alat intelijen seksual. Dia membiarkan dirinya ditiduri bukan karena pasrah, tapi untuk merekam borok para pejabat itu dalam resolusi 4K. Ini adalah satire yang menyakitkan, di negeri ini, suara perempuan sering kali tidak didengar di kantor polisi atau pengadilan, tapi "video syur" mereka bisa meruntuhkan karier politik dalam semalam. Kiran paham betul hukum rimba digital ini.


Bagian paling tragis dan paling menggelitik nalar adalah peran Ibu Kiran. Bagaimana mungkin seorang ibu lebih percaya pada fitnah ulama daripada air mata darah dagingnya sendiri?


Ini adalah bukti keberhasilan patriarki yang paling mengerikan, mencuci otak perempuan untuk menjadi penjaga gawang penindasan bagi sesama perempuan. Ibu Kiran, dalam ketidaktahuannya, menjadi agen yang melanggengkan penderitaan anaknya demi sebuah konsep abstrak bernama "nama baik keluarga". Sebuah ironi yang membuat kita ingin tertawa sekaligus menangis darah.


Tentu saja, kita harus kritis. Apakah film ini benar-benar memberdayakan? Hanung Bramantyo, dengan segala hormat, mungkin terjebak dalam male gaze. Apakah kita perlu melihat Kiran disiksa, diperkosa, dan ditelanjangi berkali-kali secara visual untuk memvalidasi penderitaannya?


Ada garis tipis antara "menunjukkan kekejaman" dan "menikmati tontonan penyiksaan". Feminisme dalam film ini adalah feminisme yang marah, penuh darah, dan dendam. Ia memuaskan hasrat kita untuk melihat orang jahat hancur, tetapi ia juga menyisakan pertanyaan, apakah satu-satunya cara perempuan mendapatkan keadilan adalah dengan menjadi "pelacur" terlebih dahulu agar bisa masuk ke kamar tidur penguasa dan menjebak mereka?


Kiran mungkin menjual tubuhnya, tetapi para lelaki di sekelilingnya, sang pemimpin agama, sang aktivis, sang dosen, sang politikus, telah melacurkan ayat-ayat Tuhan, melacurkan ilmu pengetahuan, dan melacurkan amanah rakyat demi kepuasan selangkangan dan kekuasaan.


Jadi, ketika Kiran berteriak "Tuhan, Izinkan Aku Berdosa", mungkin Tuhan tersenyum kecut dan menjawab "Silakan, Nak. Dosa-dosamu hanyalah butiran debu dibandingkan gunung kemunafikan yang mereka bangun atas nama-Ku."


Film dan novel ini bukan tentang kejatuhan moral seorang wanita. Ini adalah dakwaan terbuka terhadap kita semua. Tontonlah, bacalah, dan tertawalah, sebelum tawa itu tersangkut di tenggorokan karena menyadari betapa nyatanya horor ini di sekitar kita.

Lebih baru Lebih lama